Cerpen Bayangan Kehilangannya

Unknown 1 06.01

BAYANGAN KEHILANGANNYA 

Karya : ST. Nadia Tri Septiani
Tak seperti biasanya, hari itu bisa pulang cepat padahal beberapa hari sebelumnya begitu banyak kegiatan yang akan diselenggarakan di sekolah dan aku menjadi panitia dari beberapa kegiatan tersebut. Tapi hari itu tak ada rapat atau pertemuan apapun yang biasanya bisa menghambatku pulang ke rumah. Syukurlah, paling tidak aku bisa bersantai-santai sejenak. Tanpa berlama-lama lagi, segera ku seret kakiku menuju rumah sebelum ada yang berniat menghambatku.

“Assalamualaikum, aku pulang .. !” Teriakku sembari melepaskan sepatu dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Ku langkahkan kaki dan membuka pintu dengan ganasnya. Mataku langsung menjelajah seisi rumah. Tampak sepi, tapi tak kuindahkan karena memang biasanya keadaan rumah seperti ini. Tapi, tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah kamar tidur orang tuaku. 
  “Ma? Apa yang terjadi?” Tanyaku setengah teriak.
“Putri.. Tolong kemari sebentar Nak” Panggil mama dengan nada memohon.
Tanpa pikir panjang lagi, segera ku memenuhi panggilan mama. Aku melihatnya tampak begitu pucat dan sepertinya sedang tak sehat. Mataku kembali menjelajah, ternyata kegaduhan tadi karena suara gelas plastik yang mama tak sengaja jatuhkan dari meja di samping tempat tidurnya, air didalamnya pun tumpah membasahi lantai.
“Syukurlah, ini bukan gelas kaca. Ma ada apa? Apa semuanya baik-baik saja? ” Tanyaku dengan nada cemas. 
“Mama hanya berniat meminum obat tapi tidak sengaja gelasnya terlepas dari genggaman mama. Tolong bersihkan dulu Nak lalu cepat ganti baju ya dan istirahatlah” Pintanya lembut
Aku pun melangkah gontai. Mama memang lagi tak enak badan hari ini, dia juga tidak berangkat ke kantor. Kutawarkan untuk menemaninya ke dokter, tapi dia bilang aku di rumah saja karena sudah ada papa yang menemaninya.



Sepulang dari dokter, aku melihat mama membawa bungkusan obat yang begitu banyak, aku heran.
“Ckckck obat yang dikasih dokter kenapa banyak sekali seperti itu Ma?”
“Ini cuma vitamin” jawabnya singkat
Mama langsung beranjak ke kamar tidur, aku tidak mengikutinya dan bertanya-tanya lagi karena pikirku mama butuh istirahat dan tak ingin kuganggu. 
Hari berganti hari, mama sudah beraktivitas kembali tapi masih ada keganjilan atas sikap mama akhir-akhir ini. Mama lebih banyak diam dan murung. Aku sedih melihatnya seperti itu. Ingin kutanyakan tapi aku takut akan membuatnya marah.
Hal aneh lainnya, setiap hari mama harus ke dokter karena mengeluh kesakitan, aku sempat menemaninya sekali. Mama melakukan banyak pemeriksaan, aku sudah dewasa dan bukan anak kecil lagi. Aku bisa merasakan ada yang tidak beres tapi begitu takut untuk sekedar menanyakannya. Mama juga jadi sangat protektif menjaga dan menanyakan apa saja yang kumakan di sekolah seakan-akan tak ingin aku merasakan sakit perut karena makan jajanan yang tak sehat.
Lalu, hal yang membuatku agak sedih, mama lebih sering marah. Aku merasa bersalah karena telah membuat begitu banyak beban pada mama sehingga membuatnya kesal setiap hari. Mulai dari aku malas makan, membuatnya khawatir karena pulang lama hingga hal-hal kecil yang mungkin mulai sangat mengganggunya.
Sampai tiba saatnya aku menemukan gambar hasil USG di laci meja rias mama. Kuperhatikan dengan seksama tapi aku tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Aku mengobrak-abrik laci itu lagi dan kutemukan surat rujukan operasi. Seketika aku mematung, darahku rasanya tak cair lagi. Aku membeku.
“Aa.. apa yang terjadi? Ada apa dengan mamaku? Mama sakit apa? Kenapa harus dioperasi?” gumamku dengan nada bergetar.
Begitu banyak pertanyaan dan asumsi dalam benakku saat itu. Tanpa sadar, air mata sudah tergenang di pelupuk mata. Aku yakin ini semua tidak sedang baik-baik saja. Mamaku sedang tidak baik-baik saja.
Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi seketika bayangan kehilangannya muncul dalam setiap memori yang tersimpan dalam ingatanku. Lalu, ketakutan mulai menjalari setiap sel dalam tubuhku dan bayangan akan kehilangannya mencoba kembali menguak trauma akan kesendirian. Ketakutan dimana kau tidak bisa berdiri tegak, ketakutan dimana kau sangat bergantung lalu tiba-tiba terancam KEHILANGAN. 
Tetes demi tetes telah tertumpah secara diam-diam, mengaliri setiap lekuk wajahku dan membuatnya tampak lembab. Dan disinilah aku sekarang, duduk diam di kursi tunggu. Beberapa bulan setelah itu mama benar-benar harus dioperasi. Sudah dua jam, aku duduk mematung di sini. Menerawang, melamun dan sesekali menghela nafas. 
Udara di rumah sakit ini begitu menyesakkan dada, aroma obat dan zat kimia lainnya seakan menggorogoti indra penciumanku. Tapi, semua itu tak ada apa-apanya lagi saat ini, ada hal yang lebih menyesakkan. Aku tak hentinya memandang pintu itu, berharap lampu merah di atas pintu itu redup dan mereka membawa mama segera keluar dengan keadaan baik-baik saja.
“Pa, kenapa lama sekali?” tanyaku tak sabar.
“Sebentar lagi, tenanglah semua akan baik-baik saja” jawabnya tanpa berani menoleh ke arahku.
 Semua akan baik-baik saja. Ya, kucoba yakinkan diriku akan kata-kata papa barusan tapi rupanya aku masih ketakutan akan hal-hal yang bahkan tak ingin kubayangkan lebih lanjut. Aku kembali terdiam dan seketika tercekat.  Kembali kubenamkan kepala di antara kedua lututku. 
“Ma.. bertahanlah, aku takut disini cepatlah kembali” gumamku lirih
Aku tak pernah membayangkan akan begini jadinya, mamaku ada di dalam ruangan itu, ruangan yang tampak menyeramkan bagiku penuh dengan alat-alat yang kutahu akan siap untuk merobek dan mengiris kulitnya bahkan sampai ke isi perutnya. Dia akan merasakan sakit, Ya Tuhan kuatkan mama.
Lalu, setiap kenangan bersamanya muncul silih berganti seperti adegan-adegan film dalam lamunanku. Aku jadi teringat, saat dia marah, tertawa dan kesal akan tingkahku bahkan ketika dia mencubitku. Semua itu, amat kurindukan sekarang, tak apa walau dicubit seribu kali, dimarahi ataupun dibentak asalkan dia ada selamanya di hadapanku. Tidak menghilang dan jangan menghilang.
Beberapa jam lalu sebelum memasuki ruangan itu, mama masih sempat menatapku seakan bergumam lewat tatapan matanya mama akan baik-baik saja, jangan khawatir. Aku mengangguk dan mengalihkan pandangan, aku terlalu miris melihat tatapan itu tapi aku tetap mencoba tersenyum sambil memegang erat tangannya. Dingin, tangan mama dingin. Betapa tak kuasanya aku membendung air mata yang bahkan sudah di ujung tanduk, tak tertahankan. Tapi, aku tak bisa membiarkan air mataku tumpah saat itu. Mama harus tetap kuat dan mendapatkan energi positif dari orang sekitarnya melalui senyuman.
Yang paling kusesalkan, betapa bodohnya aku selama ini, aku bahkan baru mengetahui apa yang terjadi. Mama sakit, sakitnya bukan sakit kepala atau masuk angin yang sering dialami orang tua pada umumnya. Ini serius dan sekarang aku takut. Kata papa, ada batu dalam empedunya dan ada sesuatu yang perlu di perbaiki dalam tubuh mama. Adenomiosis semacam sesuatu di sekitar  kandungan dan usus yang perlu diangkat. 
Aku takut bukan main ketika mendengarnya, seketika ingatan tentang film-film menyedihkan muncul dalam otakku. Memori saat mama sehat-sehat saja bahkan tak mau kalah memenuhi otakku. Aku tidak bisa membendungnya lagi, aku beranjak dari tempatku duduk dan menghambur kepelukan papa. Aku memeluknya erat, erat sekali.
“Pa.. aku takut, kenapa mama lama sekali? Mama akan baik-baik saja, bukan?” Tanyaku sesenggukan.
Papa tidak menjawabku, dia hanya membalas pelukanku tak kalah eratnya. Dia menungguku sampai lelah menangis. Aku tahu papa juga merasakan hal yang sama denganku. TAKUT. Takut dengan bayang-bayang kehilangan.
5 jam terlewatkan, aku sempat tertidur karena lelah menangis. Mama sudah keluar dari ruang operasi dan keluarga bisa menjenguknya tapi hanya diperbolehkan satu persatu. Aku langsung berlari, menghambur ke tempat mama berada. Aku yang pertama kali menemuinya setelah operasi, mama masih belum sadar. Raut mukanya begitu lelah, ku raih tangannya dengan hati-hati. Dingin, sangat dingin tangannya.
Aku hanya memandanginya terus menerus dan tak lama selangnya, mama akhirnya siuman. Dia langsung menyadari bahwa yang disampingnya adalah aku.
“Putri.. Putri..” Panggilnya lirih.
“Iya Ma.. Putri disini, Mama mau apa?” Tanya ku sambil menahan tangis yang sebentar lagi akan tumpah.
“Sakit sekali Nak… panggil papa mu!”
Aku menangis lagi dan menghambur keluar untuk memanggil papa. Lalu, bersama dengan papa menuju ke ruangan itu lagi tapi hanya satu orang boleh masuk, terpaksa aku menunggu di balik pintu. Aku belum berhenti menangis. Papa agak lama di dalam dan ketika keluar raut mukanya begitu sendu.
“Mama baik-baik saja, itu cuma karena obat biusnya sudah mulai habis. Sekarang sudah disuntikkan lagi. Sebentar lagi, mama akan di bawa ke kamar rawat inap.” Ucap papa lega.
Dan benar, mama dibawa ke kamar rawat inap, kata dokter mama akan dirawat sekitar 2 minggu untuk masa pemulihan luka pada jahitan bekas operasinya. Paling tidak, semua keluarga bisa bernafas lega karena operasi mama berjalan lancar. 
Selama 2 minggu aku dan keluarga yang lain merawat mama hingga akhirnya dia diizinkan pulang. Kami semua sangat senang, bisa berkumpul dan melihat tawa mama lagi. Itu adalah hal yang paling melegakan. Aku akan menjaganya, aku tidak ingin dia merasakan sakit lagi. Bayangan kehilangannya itu sangat menyesakkanku, seperti merenggut setiap oksigen yang akan kuhirup.
Mama, selama ini aku tak pernah sadar setiap kali kubuat kau sedih, aku tak pernah berpikir kalau nanti tak bisa melihat senyummu. Hingga hal ini terjadi, aku akhirnya sadar senyummu itu adalah hal yang paling kuinginkan dari apapun di dunia ini. Aku tak ingin bayangan kehilangan akan kehilanganmu akan membunuhku dan menjadikanku mayat hidup. 
“Putri, jangan cengeng. Mama tidak akan kemana-mana… Kita semua akan tetap berkumpul” Itu kata mama setelah pulang dari rumah sakit.
Aku tersenyum setiap mengingat kata-kata itu, aku bersyukur hingga hari ini mama masih tersenyum di setiap pagi indahku. Paling tidak, aku akan membuat mama bangga dan tak pernah menyesal telah melahirkan anak sepertiku.
Aku tahu cepat atau lambat hari itu akan datang. Entah aku yang akan menghilang lebih dulu atau orang-orang di sekitarku. Tapi, paling tidak aku ingin membuat mereka terutama mama tak pernah menyesal akan kehadiranku. Hingga detik ini, bayangan kehilangan itu seperti hantu bagiku, kumohon tunggulah sampai aku tidak cengeng dan menjadi kuat. Aku tidak ingin kehilangan mama atau siapapun itu.


MAMA...
KEHILANGAN ITU BAGAIKAN MERENGGUT SELURUH OKSIGENKU...


TETAP TUNTUN AKU MA..TETAP BERDIRI DI SAMPINGKU..TETAP ARAHKAN AKU DENGAN SENTUHAN JEMARIMU.. BUAT AKU SETEGAR DAN SETANGGUH KAMU :') 

1 komentar

Posting Komentar

Coretkanlah Opinimu :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Dear Readers...

Tulisan itu memang terkadang membosankan.. namun bertahanlah sampai klimaks .. Temukan yang tak terduga ;) Jemari rapuh ini, hanya sebagai perantara bagi gadis yang tak bisa berhenti berkicau walau tak ada siapapun di sekitarnya..

Popular Posts

Twitter

Followers