Artikel, Yuk! Lestarikan Budaya Berpantun!
Yuk, Lestarikan Budaya Berpantun!
Oleh : Sitti Nadia Tri Septiani
Pantun tentu tidak asing lagi bukan bagi
kita? Mulai dari saat duduk di bangku sekolah dasar (SD) kita sudah
dikenalkan dengan sastra lama satu ini. Tapi tahukah? Pantun bukan
sekedar kebudayaan yang khas dengan budaya melayu saja namun memang
berasal dari Indonesia. Sudah sejak lama pantun menjadi alat komunikasi
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebab, pantun merupakan warisan
leluhur yang paling unik. Mengapa saya menyebutnya demikian? Karena,
pantun itu sendiri telah memiliki chemistry yang kuat dengan
seluruh masyarakat di Indonesia. Lihat saja, semua daerah di Indonesia
memiliki pantun khas daerahnya masing-masing.
Sekarang, melalui pelajaran Bahasa
Indonesia kita diperkenalkan dengan puisi lama yang satu ini. Pantun,
puisi asli Indonesia yang merupakan warisan leluhur kita. Namun, fakta
dilapangan menyatakan bahwa hal itu sekedar menjadi pelajaran sekolah
saja. Hanya diterapkan dalam proses belajar mengajar. Ketika, bab
mengenai pantun sudah lewat maka tertinggal pula kenangan saling
melempar pesan melalui pantun ini.
Perkembangan zaman yang semakin modern
memang tak dapat dipungkiri telah memengaruhi sebagian kebiasaan
masyarakat dan berdampak pada kebudayaan kita. Masyarakat perlahan
meninggalkan kebiasaan berpantun mereka. Malah, kalau dilihat secara
kasat mata pun pantun hanya diajarkan kepada generasi muda hanya untuk
meperkenalkan saja tanpa diberi wadah tuk melestarikannya. Bukan hanya
generasi muda saja yang sudah agak acuh tak acuh dengan budaya kita yang
satu ini. Seakan-akan pantun hanya digunakan saat ada prosesi adat
saja, seperti saat suku betawi mengadakan prosesi lamaran. Tapi, dalam
kehidupan sehari-hari sedikit demi sedikit kebudayaan berpantun sudah
semakin pudar.
Padahal, pantun memiliki banyak manfaat
lho! Mulai dari berkirim pesan, menasehati, bercanda, bahkan menyindir
dengan halus pun bisa. Bahkan, ketika memakai pantun untuk saling
menasehati atau sekedar bertegur sapa, silaturahmi kita antar manusia
semakin kuat. Bukan hanya itu, secara tidak langsung juga akan
merangsang otak kita menjadi lebih aktif lagi dalam bermain kata-kata.
Alhasil, perbendaharaan kata pun semakin banyak.
Tapi, kembai lagi muncul pertanyaan
sebagai PR untuk kita semua, utamanya para generasi penerus bangsa. Apa
kamu mau, kasus diklaimnya seni Reog Ponerogo atau Pulau Ligitan
terulang menimpa kebudayaan Indonesia lagi? Saya pribadi jelas tidak
akan mau mengorbankan kebudayaan kita untuk kesekian kalinya! Kali ini,
jangan biarkan negara tetangga ataupun negara lainnya mencoba untuk
mengaku-ngaku lagi atas kebudayaan asli Indonesia. Maka, satu-satunya
cara, generasi muda mesti ikut aktif dalam melestarikannya karena
kita-kita inilah yang nantinya akan kembali mewariskan budaya pantun
ini.
Nah, ada yang bertanya “Bagaimana cara
melestarikannya? Masa’ setiap ngomong mesti berpantun terus?”
Melestarikan tidak harus seperti itu. Paling tidak, ketika diajarkan
oleh Bapak/Ibu guru mengenai pantun, hal tersebut tidak hanya numpang
lewat saja. Artinya, mari kita biasakan menyelipkan sebait atau dua bait
saja di kehidupan sehari-hari. Sehingga, dengan otomatis kita semua
pandai berpantun dan dapat mewariskannya lagi ke generasi selanjutnya.
Kita dapat mencontoh sosok Pak Tifatul
Sembiring yaitu menteri komunikasi dan informatika Indonesia. Walaupun
sibuk dengan berbagai pekerjaan sebagai seorang menteri, Beliau masih
sempat bercanda ataupun menyapa orang di dalam sebuah kegiatan dengan
berpantun. Beliau sangat terkenal sebagai salah satu pejabat negara yang
hobi berpantun. Contohnya saja, ketika di sodori berbagai pertanyaan
dari para wartawan, Beliau malah membalasnya dengan berpantun.
Tercatat Pada berita news.detik.com hari Selasa, 18/09/2012, Salah satu pantun Tifatul adalah tentang cinta:
“Kalau kutahu paria pahit, tak kugulai dalam belanga. Kalau kutahu bercinta pahit, takkan kumulai dari semula”
Lalu saat wartawan bertanya mengenai isu
reshuffle dirinya, Beliau tak ambil pusing dengan isu tersebut dan
kembali berkomentar dengan pantun:
“Ayu Ting-ting naik kopaja, Yang penting kerja”
Tak perlu melakukan hal yang rumit
untuk bisa melestarikan budaya kita. Kita bisa beranjak dari hal yang
sepele, semisal menyelipkan sebait pantun untuk menutup pidato yang kita
sampaikan atau untuk menutup artikel-artikel kita. Apalagi jika
tulisan/artikel kita bersifat persuasive (ajakan). Nah, kesempatan untuk
menggunakan pantun sebagai media komunikasinya. Tahukah? Dengan
berpantun disela-sela berpidato, menyampaikan sambutan atau bahkan
ketika kamu menjadi MC di salah satu kegiatan suasananya akan lebih
santai dan bersahabat.
Paling tidak, dengan sadarnya kita akan
melestarikan budaya pantun ini entah itu dengan cara mengajarkannya
nanti kepada anak cucu kita. Yang jelas, sudah seharusnya budaya pantun
ini bisa kita kenal dengan baik terlebih dahulu. Bukan sekedar hanya
numpang lewat di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Mari mulai dengan hal
yang kecil terlebih dahulu.
Sedikit berbagi cerita tentang contoh
pelestarian budaya pantun. Tak lama ini, saya baru saja mempelajari
pembahasan tentang pantun. Guru bahasa Indonesia saya, yang akrab disapa
Ibu Enda tak hanya sekedar mengajarkan teori mengenai cara membuat
pantun. Beliau, bahkan membuat semacam games berbalas pantun di kelas. Sehingga, suasana belajar pantun pun semakin menyenangkan dan materinya bisa tertanam lama.
Tak berhenti sampai disitu, Beliau juga
mengharapkan kami semua tuk melestarikan kebudayaan kita yang satu ini
dengan cara membuat 10 bait pantun perorang. Awalnya, mendapat tugas
tersebut sebagian ada yang mengeluh. Tapi, Beliau kembali memotivasi
kami bahwa biasakan membuat satu bait pantun saja perharinya. Dengan
begitu, pantun menjadi hal yang menyenangkan sekaligus mengasah otak
kita.
Alhasil, tugas yang Ibu Enda berikan
bahkan selesai sebelum hari pengumpulan. Setelah semua karya pantun kami
dikumpulkan, Beliau punya inisiatif untuk membuatnya menjadi klipping
berjudul “Kumpulan Pantun Karya Siswa(i) XII IA 1″. Wah, secara tidak
langsung Beliau mengajarkan kami bahwa membuat pantun dan menulis sebuah
karya itu tak sulit. Sekaligus, kami sangat senang karena kami
mempunyai karya yang dibukukan. Ibu Enda mengatakan bahwa klipping
tersebut nantinya akan diperlihatkan kepada adik-adik kelas kami
berikutnya sebagai motivasi untuk mereka membuat hal yang serupa.
Dari hal kecil tersebut, Bu Enda membuat
kami membayangkan jika rutin membuat 1 bait pantun perhari. Wah,
setelah sebulan lamanya kita sudah menghasilkan setidaknya 30 bait
pantun. Bagaimana jika 2 bulan? Kita bisa menjadikannya buku kumpulan
pantun. Luar biasa bukan? Dengan begitu kita juga semakin mencintai
kebudayaan berpantun ini. Semoga pengalaman ini bisa menginspirasi semua
bahwa budaya berpantun patut dilestarikan.
Ada buaya melukai kancil
si kancil menangis sambil minta ampun
Yuk, mulai dari hal kecil
Untuk lestarikan budaya berpantun!
Sumber tulisan : Akun pribadi kompasiana http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/04/yuk-lestarikan-budaya-berpantun-597632.html
sumber gambar : http://yeniismayanti.files.wordpress.com/2010/08/pantun.jpg
Posting Komentar
Coretkanlah Opinimu :)