Artikel, Yuk! Lestarikan Budaya Berpantun!

Unknown Reply 01.32

Yuk, Lestarikan Budaya Berpantun!

Oleh : Sitti Nadia Tri Septiani


Pantun tentu tidak asing lagi bukan bagi kita? Mulai dari saat duduk di bangku sekolah dasar (SD)  kita sudah dikenalkan dengan sastra lama satu ini. Tapi tahukah? Pantun bukan sekedar kebudayaan yang khas dengan budaya melayu saja namun memang berasal dari Indonesia. Sudah sejak lama pantun menjadi alat komunikasi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebab, pantun merupakan warisan leluhur yang paling unik. Mengapa saya menyebutnya demikian? Karena, pantun itu sendiri telah memiliki chemistry yang kuat dengan seluruh masyarakat di Indonesia. Lihat saja, semua daerah di Indonesia memiliki pantun khas daerahnya masing-masing.


Sekarang, melalui pelajaran Bahasa Indonesia kita diperkenalkan dengan puisi lama yang satu ini. Pantun, puisi asli Indonesia  yang merupakan warisan leluhur kita.  Namun, fakta dilapangan menyatakan bahwa hal itu sekedar menjadi pelajaran sekolah saja. Hanya diterapkan dalam proses belajar mengajar. Ketika, bab mengenai pantun sudah lewat maka tertinggal pula kenangan saling melempar pesan melalui pantun ini.

Perkembangan zaman yang semakin modern memang tak dapat dipungkiri telah memengaruhi sebagian kebiasaan masyarakat dan berdampak pada kebudayaan kita. Masyarakat perlahan meninggalkan kebiasaan berpantun mereka. Malah, kalau dilihat secara kasat mata pun pantun hanya diajarkan kepada generasi muda hanya untuk meperkenalkan saja tanpa diberi wadah tuk melestarikannya. Bukan hanya generasi muda saja yang sudah agak acuh tak acuh dengan budaya kita yang satu ini. Seakan-akan pantun hanya digunakan saat ada prosesi adat saja, seperti saat suku betawi mengadakan prosesi lamaran. Tapi, dalam kehidupan sehari-hari sedikit demi sedikit kebudayaan berpantun sudah semakin pudar.

Padahal, pantun memiliki banyak manfaat lho! Mulai dari berkirim pesan, menasehati, bercanda, bahkan menyindir dengan halus pun bisa. Bahkan, ketika memakai pantun untuk saling menasehati atau sekedar bertegur sapa, silaturahmi kita antar manusia semakin kuat. Bukan hanya itu, secara tidak langsung juga akan merangsang otak kita menjadi lebih aktif lagi dalam bermain kata-kata. Alhasil, perbendaharaan kata pun semakin banyak.

Tapi, kembai lagi muncul pertanyaan sebagai PR untuk kita semua, utamanya para generasi penerus bangsa. Apa kamu mau, kasus diklaimnya seni Reog Ponerogo atau Pulau Ligitan terulang menimpa kebudayaan Indonesia lagi? Saya pribadi jelas tidak akan mau mengorbankan kebudayaan kita untuk kesekian kalinya! Kali ini, jangan biarkan negara tetangga ataupun negara lainnya mencoba untuk mengaku-ngaku lagi atas kebudayaan asli Indonesia. Maka, satu-satunya cara, generasi muda mesti ikut aktif dalam melestarikannya karena kita-kita inilah yang nantinya akan kembali mewariskan budaya pantun ini.

Nah, ada yang bertanya “Bagaimana cara melestarikannya? Masa’ setiap ngomong mesti berpantun terus?” Melestarikan tidak harus seperti itu. Paling tidak, ketika diajarkan oleh Bapak/Ibu guru mengenai pantun, hal tersebut tidak hanya numpang lewat saja. Artinya, mari kita biasakan menyelipkan sebait atau dua bait saja di kehidupan sehari-hari. Sehingga, dengan otomatis kita semua pandai berpantun dan dapat mewariskannya lagi ke generasi selanjutnya.

Kita dapat mencontoh sosok Pak Tifatul Sembiring yaitu menteri komunikasi dan informatika Indonesia. Walaupun sibuk dengan berbagai pekerjaan sebagai seorang menteri, Beliau masih sempat bercanda ataupun menyapa orang di dalam sebuah kegiatan dengan berpantun. Beliau sangat terkenal sebagai salah satu pejabat negara yang hobi berpantun. Contohnya saja, ketika di sodori berbagai pertanyaan dari para wartawan, Beliau malah membalasnya dengan berpantun.

Tercatat Pada berita news.detik.com hari Selasa, 18/09/2012,  Salah satu pantun Tifatul adalah tentang cinta:
“Kalau kutahu paria pahit, tak kugulai dalam belanga. Kalau kutahu bercinta pahit, takkan kumulai dari semula”
Lalu saat wartawan bertanya mengenai isu reshuffle dirinya, Beliau tak ambil pusing dengan isu tersebut dan kembali berkomentar dengan pantun:
“Ayu Ting-ting naik kopaja, Yang penting kerja”

Tak perlu melakukan hal yang rumit untuk bisa melestarikan budaya kita. Kita bisa beranjak dari hal yang sepele, semisal menyelipkan sebait pantun untuk menutup pidato yang kita sampaikan atau untuk menutup artikel-artikel kita. Apalagi jika tulisan/artikel kita bersifat persuasive (ajakan). Nah, kesempatan untuk menggunakan pantun sebagai media komunikasinya. Tahukah? Dengan berpantun disela-sela berpidato, menyampaikan sambutan atau bahkan ketika kamu menjadi MC di salah satu kegiatan suasananya akan lebih santai dan bersahabat.

Paling tidak, dengan sadarnya kita akan melestarikan budaya pantun ini entah itu dengan cara mengajarkannya nanti kepada anak cucu kita. Yang jelas, sudah seharusnya budaya pantun ini bisa kita kenal dengan baik terlebih dahulu. Bukan sekedar hanya numpang lewat di mata pelajaran Bahasa Indonesia.  Mari mulai dengan hal yang kecil terlebih dahulu.

Sedikit berbagi cerita tentang contoh pelestarian budaya pantun. Tak lama ini, saya baru saja mempelajari pembahasan tentang pantun. Guru bahasa Indonesia saya, yang akrab disapa Ibu Enda tak hanya sekedar mengajarkan teori mengenai cara membuat pantun. Beliau, bahkan membuat semacam games berbalas pantun di kelas. Sehingga, suasana belajar pantun pun semakin menyenangkan dan materinya  bisa tertanam lama.

Tak berhenti sampai disitu, Beliau juga mengharapkan kami semua tuk melestarikan kebudayaan kita yang satu ini dengan cara membuat 10 bait pantun perorang. Awalnya, mendapat tugas tersebut sebagian ada yang mengeluh. Tapi, Beliau kembali memotivasi kami bahwa biasakan membuat satu bait pantun saja perharinya. Dengan begitu, pantun menjadi hal yang menyenangkan sekaligus mengasah otak kita.

Alhasil, tugas yang Ibu Enda berikan bahkan selesai sebelum hari pengumpulan. Setelah semua karya pantun kami dikumpulkan, Beliau punya inisiatif untuk membuatnya menjadi klipping berjudul “Kumpulan Pantun Karya Siswa(i) XII IA 1″. Wah, secara tidak langsung Beliau mengajarkan kami bahwa membuat pantun dan menulis sebuah karya itu tak sulit. Sekaligus, kami sangat senang karena kami mempunyai karya yang dibukukan. Ibu Enda mengatakan bahwa klipping tersebut nantinya akan diperlihatkan kepada adik-adik kelas kami berikutnya sebagai motivasi untuk mereka membuat hal yang serupa.

Dari hal kecil tersebut, Bu Enda membuat kami membayangkan jika rutin membuat 1 bait pantun perhari. Wah, setelah sebulan lamanya kita sudah menghasilkan setidaknya 30 bait pantun. Bagaimana jika 2 bulan? Kita bisa menjadikannya buku kumpulan pantun. Luar biasa bukan? Dengan begitu kita juga semakin mencintai kebudayaan berpantun ini. Semoga pengalaman ini bisa menginspirasi semua bahwa budaya berpantun patut dilestarikan.

Ada buaya melukai kancil


si kancil menangis sambil minta ampun


Yuk, mulai dari hal kecil


Untuk lestarikan budaya berpantun!


Sumber tulisan : Akun pribadi kompasiana http://sosbud.kompasiana.com/2013/10/04/yuk-lestarikan-budaya-berpantun-597632.html
sumber gambar : http://yeniismayanti.files.wordpress.com/2010/08/pantun.jpg

Posting Komentar

Coretkanlah Opinimu :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Dear Readers...

Tulisan itu memang terkadang membosankan.. namun bertahanlah sampai klimaks .. Temukan yang tak terduga ;) Jemari rapuh ini, hanya sebagai perantara bagi gadis yang tak bisa berhenti berkicau walau tak ada siapapun di sekitarnya..

Popular Posts

Twitter

Followers