Cerpen Cinta Nessa

Unknown 3 02.04

 Cinta Nessa 

Karya Sitti Nadia Tri Septiani



Cinta. Bahagiakah kamu ketika merasakannya? Tahukah kamu jika cinta itu menyimpan sebilah pisau dibalik angan-angan yang ia janjikan? Tahukah kamu kalau saat ini cinta berusaha untuk menipu? Menyimpan pisau di sakunya dan kapan saja bisa mengirismu lalu membuat luka itu menjadi infeksi. Kini, ada seorang gadis yang memilih untuk berteman dengan sepi untuk menghindari cinta. Katanya, cinta merenggut hidupnya. Katanya, cinta itu jahat.


Sabtu, 9 September 2013

Gadis berlesung pipi yang tengah duduk di pojok sana hanya bisa tersenyum kecut memandangi surat yang ia pegang. Jangan sembunyi, kamu tidak akan pernah sendiri walaupun kamu ingin. Ekspresi gadis ini membingungkan. Mungkin ia muak untuk memaknai kalimat surat itu. Bukan hanya hari ini, sejak sebulan yang lalu ia terus mendapatkan surat tanpa tahu identitas sang pengirim. Suratnya sama, bersampul bunga sakura. Bunga kesukaan Nessa tapi tetap saja Nessa tak suka.  Ini semacam teror untuknya. Walaupun begitu, Nessa tetap menyimpan semua surat itu sampai ia tahu siapa sang pengirim. Ia hanya ingin segera mengembalikan surat yang menurutnya tak berguna itu.


Dia merasa sudah kenyang dengan hal ini. Mereka tidak ada yang mengerti, batinnya. Karena kini matanya telah  kosong, tidak ia temukan siapa-siapa. Begitupun hatinya. Bukan seorang pria dambaan hati  yang tengah ia rindukan. Bukan pula cinta pertamanya. Bahkan teman maupun keluarga tak punya arti di matanya. Benar-benar kosong!

Dari sejam yang lalu tatapan matanya tetap seperti itu, entah apa yang ia lihat. Lurus kedepan dan frekuensi berkedipnya sangat jarang. Bukan hanya siang ini, tadi pagi, kemarin bahkan hari-hari yang lalu ia juga seperti itu. Paling tidak, sejak ia berkenalan dengan kehilangan. Ia mulai mengisolasi diri dari cinta. Melamunkan sesuatu yang kosong.

“Nessa!”

Ia tak kunjung menoleh walau pendengarannya masih sangat bagus untuk mendengarkan namanya dipanggil dari jarak jauh. Nilam yang memanggilnya. Seseorang yang sangat peduli, yang membuat Nessa semakin takut terlalu dekat dengannya. Ia merasa perlu membangun dinding kokoh ketika mulai merasa ada seseorang  yang memedulikannya.

Nessa tidak ingin dicintai. Namun, bukan berarti ia ingin dibenci. Ia memilih untuk diabaikan saja. Menjadi sosok tak menonjol, tersembunyi dan tak dikenal. Sebisa mungkin ia ingin seperti itu.

Nilam mengenal Nessa cukup lama. Semenjak mereka dipertemukan saat masih bermuka polos di taman kanak-kanak. Mereka menjadi sahabat, bahkan lebih dari itu. Mereka sudah seperti saudara, selalu bersama saat TK. Begitulah Nessa yang dulu, ia teramat menyayangi Nilam seperti keluarganya sendiri dan begitupun Nilam terhadap Nessa.

Nessa merupakan anak tunggal dan benci dengan kesendirian. Ia gadis yang aktif, cerdas dan cantik. Saat bertemu bahkan sebangku dengan Nilam, ia sangat bersyukur karena tak kesepian lagi. Begitulah sosok Nessa bagi Nilam saat sahabatnya itu belum bertemu kehilangan.

Sekarang, banyak hal yang telah berubah bahkan Nessa memilih berteman dengan sepi dibandingkan dengan Nilam. Miris, Nessa mengambil jalan itu. Trauma menjadikan dia lebih kejam dari monster sekalipun. Menyakiti dirinya untuk tetap bisa terkurung dalam zona aman tanpa siapa-siapa. Ia hanya tak ingin terlena dan terkena pisau yang cinta sembunyikan.

“NESSA!” Nilam kembali teriak tapi tetap di acuhkan. “Hmm.. Gadis keras kepala! Sampai kapan ia tetap seperti ini padaku!” Umpat Nilam dan langsung mengambil langkah seribu tuk mendekati Nessa. Nilam menyerah untuk memanggil Nessa dari kejauhan. Tanpa permisi Nilam langsung duduk di samping gadis dingin itu. Akhirnya Nessa pun menoleh dan memandang Nilam, tatapan mata Nessa yang tajam membuat Nilam sedikit ragu sejenak.

“Hmm.. Ee Ness kita ke taman yuk! Sudah lama tidak kesana, sekalian kita piknik kecil-kecilan. Nanti kukenalin sama teman-teman baruku dan sekalian kita rayakan ulang tahunmu. Mau ya?” Ajak Nilam dengan sangat hati-hati sambil ia tetap berdoa dalam hatinya agar Nessa mengangguk setuju.
Tapi, siapapun dapat menduga kalau Nessa akan menolak ajakan itu. Nessa pun menggeleng sambil menjawab “Sorry, aku sibuk,” dan langsung melenggang pergi tanpa berbalik lagi ke arah Nilam. Mencari tempat tuk bersembunyi, sendiri tanpa orang lain. Sedangkan Nilam hanya mematung, ia tak menyangka sahabatnya itu berubah menjadi makhluk es.

“Gadis yang malang, kemana Nessa yang dulu Tuhan?” Nilam kembali berdialog dengan hatinya. Ia sama sekali tak kesal atau marah karena telah diacuhkan. Malah ia semakin prihatin melihat Nessa bertahan untuk bersikap begitu. Sudah hampir 12 tahun ia bertahan dengan sikap es seperti itu. Kehilangan menjadikan Nessa asing dimata Nilam.

Nilam tahu betul siapa Nessa, yang jelas bukan seperti sosok yang ia ajak piknik tadi. Itu bukan Nessa, hanya raganya yang sepeti Nessa. Andaikan saat itu tak pernah terjadi, bisik Nilam pada hatinya.

Sabtu, 9 September 2001

“Nillaaaamm, besok ke lumahku ya, ayah dan bundaku besok juga akan pulang dali lual negeli dan janji bawa coklat  yang banyak!” Teriak anak kecil berkepang dua lengkap khas cadelnya yang terdengar sangat bersemangat.

“Iya Nessa.. tunggu aku besok di rumahmu yaa” balas Nilam kecil tak kalah nyaringnya dan segera berlari menghampiri Nessa. Kedua kelingking mereka pun bertaut sebagai tanda sebuah perjanjian.

Sesampai di rumah, Nessa tak sabar menunggu hari esok. Sangat gembira, itulah perasaan Nessa kecil saat itu. Bagaimana tidak? Besok adalah hari ulang tahunnya, ayah dan bundanya akan pulang dan paling spesial, seharian besok Nessa dan Nilam akan bermain dan makan coklat bersama.

Bibi Inah, pembantu di rumah Nessa yang telah dianggap layaknya keluarga hanya senyum-senyum mendengarkan Nessa bercerita. Nessa memang sangat lucu. Pipinya yang tembem dilengkapi dengan lesung pipi yang manis. Semua orang yang melihatnya akan tersenyum dan takjub. Nessa kecil yang cantik, ceria dan cerdas.

Malam ini, sama seperti malam yang lalu-lalu. Nessa mengobrol dengan orang tuanya melalui telepon ketika mereka tak ada di rumah karena urusan pekerjaan. Nessa selalu bercerita banyak hal tentang kegiatan di TK kepada bundanya. Malam ini pun demikian, sang bunda tak lupa tuk menelpon anak semata wayangnya.

“Haloo, Bunda? Ini Nessa yang cantik. Hahaha Bunda lagi dimana? Tau gak Bunda, Nessa hali ini senang banget kalena Nilam janji akan ke lumah besok. Apalagi besok Bunda dan Ayah akan pulang kan? Nessa jadi tambah senang. Eh, Bunda beliin aku coklatkan? Yang banyak kan? Hehe soalnya Nessa mau bagi-bagi coklat ke Nilam. Besokkan Nessa ulang tahun.” Belum sempat sang bunda menyapa, Nessa sudah menghantam bundanya dengan serentetan pertanyaan.

“Wah Nessa makin cerewet yaa. Bunda jadi bingung mau jawab pertanyaan yang mana dulu. Hahah” Bunda pun hanya bisa menggoda Nessa.  Tawa mereka pun pecah. Nessa jadi malu karena dibilang cerewet. Sang Bunda pun menjawab rentetan pertanyaan putri tersayangnya itu. “Iya, anak bunda yang manis. Nessa tunggu bunda besok ya di rumah. Bunda dan Ayah akan sampai di rumah jam 10 pagi. Masalah coklat Nessa tenang aja, bunda bawa sekarung penuh. Hehe”

Percakapan mereka pun semakin mengalir, saling menggoda bahkan mengejek satu sama lain. Tak jarang raut muka Nessa jadi sangat lucu ketika cemberut ketika di ejek oleh sang bunda. Ah, cinta ibu dan anak sangat jelas terlihat didiri mereka. Sebab,  keduanya saling merindu dan tak sabar ingin berjumpa.

Keesokan harinya, sinar mentari sibuk menggelitiki Nessa. Alarm yang semalam Nessa persiapkan pun menepati janjinya untuk mengingatkan sang pemilik untuk bangun sesuai jam yang ditentukan. Awalnya mata tak bisa diajak kompromi untuk bangun cepat di hari minggu pagi. Tapi, Nessa akhirnya berhasil bangun sendiri sebelum Bibi Inah membangunkannya.

Nessa bergegas untuk mandi sedangkan Bibi Inah sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Saat itu, telepon berdering. Dari dalam kamar mandi, Nessa bisa mendengar dering telepon itu.

“Bi, tolong angkat teleponnya. Itu pasti dari bunda Bi,” Bibi Inah pun langsung bergegas mengangkat telepon. Tak memakan waktu lama, mungkin sekitar dua menit. Belum sempat Bibi Inah mengeluarkan kata-kata. Telepon itu sudah terlepas dari genggamannya. Berita buruk.

Nessa mandi dengan sangat cepat dan mengintip dari balik pintu. “Bi, bunda bilang apa? Mereka sudah ada di bandara ya Bi? Bunda bilang apa?” Nessa menyerbu Bibi Inah dengan berbagai pertanyaan. Bibi Inah tidak mampu untuk menjelaskan apa-apa. Ia langsung berlari ke arah Nessa. Memeluknya sambil terisak. Nessa mematung, menyadari ada masalah.

“Bunda dan Ayah lagi ada urusan mendadak Neng, gak bisa pulang hari ini.” Bibi Inah menjelaskan dengan air mata yang terus mengalir.

“Tapi, bunda udah janji Bi, bunda dan ayah janji mau ngasih aku coklat hari ini. Aku juga sudah janji bakal ngasih Nilam coklat hari ini dan kita akan main sama-sama.” Wajah Nessa berubah kecewa. 

“Aku mau nelpon bunda Bi! Aku mau ngomong sama bunda!” Nessa merengek tanpa henti ke pada Bibi Inah. Sedang bibi inah menahan sakit di hatinya. Ia tak tega menjelaskan kepada bocah malang di depannya bahwa orang tuanya mengalami kecelakaan dan sedang mengalami kritis.

“Bibi akan belikan Nessa coklat ya, bunda dan ayah lagi gak bisa di ganggu.” Bujuk bibi Inah.

“Gak mau Bi, aku mau nunggu Bunda dan ayah sampai jam 10 pagi. Mereka pasti datang. Mereka sudah janji sama Nessa! Bunda bilang sayang sama Nessa, kalau memang bunda sayang. Bunda pasti gak bohong sama Nessa!” Tangis Nessa pecah, ia tidak rela hari minggu cerianya rusak.

Hari itu ayah dan bunda Nessa tidak pulang. Nilam pun tak datang ke rumah Nessa. Entah karena apa, tapi yang jelas semakin menganga luka di hati Nessa. Kehilangan mulai menyapa Nessa kecil yang malang. Ia marah kepada semua orang yang telah berjanji padanya. Ia kecewa pada  ayah, bunda, dan Nilam yang tak datang.

Hari berganti hari, walaupun kecewa dan marah Nessa tetap menunggu ayah dan bundanya di teras rumah. Begitu setiap hari hingga melewati minggu, bulan dan tahun. Hingga Nessa lulus TK. Tak ada kabar yang ia dapat, Bibi Inah pun hanya mengumbar janji. Nessa benci sama semua orang. Nessa benci dengan ayah dan bundanya yang tak pernah memberi kabar, tak pernah lagi menelpon Nessa sebelum ia tidur.

Setelah lulus TK pun Nessa masih satu sekolah bahkan sekelas dengan Nilam. SD, SMP dan bahkan sekarang, di SMA. Nilam sengaja mengikuti Nessa. Ia merasa turut andil sebagai penyebab lukanya masa itu. Ia tidak datang ke rumah Nessa, sebab panas tinggi yang Nilam alami. Tapi, Nessa tak pernah tahu hal itu.

Nessa kecil tumbuh menjadi Nessa yang lain. Nessa yang dingin, pendiam dan tertutup. Nessa bukan anak kecil lagi hingga ia mendapati kenyataan bahwa bundanya telah tiada sedang ayahnya sudah beberapa tahun koma di rumah sakit. Saat Nessa beranjak dewasa, ayahnya masih terbaring.
Nessa membenci Bibi Inah yang ikut-ikutan membohonginya. Kala itu, Nessa tidak pernah bisa menangis lagi. Bahkan ketika tahu Bunda yang selama ini ia tunggu di teras rumah ternyata tak akan pernah kembali lagi. Nessa benci semua orang, termasuk dirinya sendiri. Mulai sejak itu, Kehilangan berhasi merangkul Nessa yang malang.


Minggu, 10 September 2013

Hari ini ulang tahun Nessa dan ia tak peduli bahkan tak ingat sampai surat bersampul bunga sakura datang ke rumahnya dan mengingatkannya tentang hari ini. Selamat ulang tahun gadis yang selalu menyanyikan nada-nada biru, bisakah kau tersenyum sejenak hari ini?

Sesingkat itu, namun berhasil membuat Nessa semakin muak! Apa Nilam dibalik semua ini? Setahunya memang hanya Nilam yang tahu banyak tentangnya. Tentang ulang tahunnya, tentang luka-luka yang masih menganga walaupun telah sekian tahun lamanya. Nessa bergegas mengambil ponselnya, ia masih ingat nomor telepon rumah Nilam.  Tanpa menunggu lama, terdengar suara gadis periang di ujung sana.

“Halo, ada yang bisa saya bantu? Dengan siapa ini?” sapa Nilam dengan sopan. Walaupun jarang berbicara, dengan Nilam, Nessa masih hafal suara gadis itu.

“Berhenti mengirimiku surat konyol seperti itu! Kamu bukan siapa-siapa yang berarti buatku!”
“Nessa? Ini Nessa? Surat apa maksudmu? Aku tidak mengerti!”

“Jangan pura-pura tidak tahu! Sudah ku bilang, jangan pernah pedulikan aku!” Nessa meninggikan suaranya.

Tiitt.. tiiit… telepon terputus. Nilam bingung mengenai surat apa yang Nessa maksud. Tapi, kata-kata Nessa barusan berhasil membuat Nilam menitikkan air mata. Ia ingat hari ini ulang tahun Nessa, baru saja ia ingin mengirimkan kado tapi telepon tadi mengurungkan niat Nilam. Nessa benar-benar bukan Nessa lagi.

Tak berhenti pada surat, malamnya bibi Inah membawa sekotak kado yang dibungkus dengan motif bunga sakura. Nessa mengernyit melihat kado itu, hampir sama dengan motif surat tadi. Bibi Inah hanya berbicara singkat, “Ada yang nitip ini Neng, seorang pemuda. Mungkin teman SMA Neng Nessa.” Jelas Bi Inah tanpa mendapat tanggapan dari Nessa.

Tanpa menyentuh kado tersebut, Nessa berlari keluar rumah. Mencari sosok pemuda yang Bibi Inah katakan. Nessa ingin sekali menggertak pemuda itu “Jangan ikut campur urusan orang lain!” Tapi nihil, Nessa tidak menemukannya.

Nessa pun kembali ke kamarnya dan kado itu masih di sana. Melihat bunga sakura membuatnya ingat saat ia berlibur bersama orang tuanya ke jepang dan semenjak itu ia jatuh hati pada bunga yang satu itu. Nessa tidak berhasil menahan rasa penasarannya untuk tahu isi dari kado tersebut. Ia membukanya perlahan, sedikit ragu, dan takut menemukan hal yang kembali mengingatkannya pada luka 12 tahun lalu.

Sekotak coklat, dan surat. Refleks ia lempar coklat itu jauh-jauh. Luka itu menganga lagi, semakin sakit. Nessa ingin sekali menangis, memeluk seseorang, bundanya. Tapi ia terlalu marah untuk mau mengingat segala hal tentang janji sang bunda. Termasuk saat bundanya bilang “Bunda selalu ada karena bunda sayang sama Nessa,”  dan itu artinya kini tidak ada lagi kata sayang sebab bundanya telah tiada.

Ingin sekali Nessa merobek surat itu, tapi gagal. Sebab, sebelum Nessa merobeknya, ia terlanjur membaca kalimat di sampul surat itu. Jangan menjadi egois, Nessa. Ayahmu menunggu.
Matanya terbelalak. Membaca kata “Ayah” berhasil membuat detak jantungnya melambat dan terasa sakit sekali. Ia tahu, hingga detik ini ayahnya masih terbaring di rumah sakit. Seketika, ia mengeluarkan isi surat itu dan membaca tanpa melewatkan satu kata pun.

Dear Nessa


Sebelumnya, selamat ulang tahun. Aku yakin kau cukup dewasa sekarang untuk menghadapi kenyataan. Jangan sembunyi lagi. Jangan menjadi seseorang yang bukan dirimu. Jangan mengunci dan memenjarakan dirimu yang sebenarnya. 


Aku tahu saat ini kau marah. Mungkin mengira kenapa ada seseorang yang lancang sekali mengurusi kehidupanmu. Bukan karena aku tega dan ingin mengorek luka yang masih basah di hatimu. Bukan karena aku tak punya kerjaan lain selain mencampuri urusan orang lain. Aku hanya merasa berdosa jika terus membiarkan kehilangan menyabotase dirimu. Aku tidak rela melihatmu kesepian sementara kau masih memiliki seorang ayah dan teman. 


Aku tahu, kisahku mungkin tak penting bagimu. Tapi perlu kau tahu, aku pernah berada di posisimu dan aku cukup mengerti. Walaupun aku bukanlah seorang wanita sepertimu tapi bukankah kita senasib? Kehilangan memang menyakitkan dan akan semakin menyakitkan jika kau rela untuk dirangkul olehnya. 


Tapi bagiku kau masih beruntung, masih ada seorang ayah yang merindukanmu walau sebatas di alam bawah sadarnya. Ada seorang ayah yang menunggu putrinya tuk membangunkannya. Kau hanya perlu merengek di telinganya seperti saat dulu, saat kau merengek dibelikan coklat.


Ayahmu menunggu.. 


Esok akan menjadi hari yang berat baginya dan aku tahu, ia membutuhkan putri kesayangannya untuk berada di sampingnya.

Nessa mematung. Rasanya waktu berhenti sepersekian detik, rasanya dadanya kembali sakit dan lebih menyakitkan ia masih tak bisa menangis. Ia lupa bagaimana harus melegakan perasaannya lewat tangisan. Saat ini ia ingin sekali menangis.

Surat itu sama dengan surat sebelumnya dan Nessa yakin pengirimnya sama. Hanya kali ini, isi surat itu jauh lebih menyakiti Nessa. Surat itu berhasil meninju ulu hatinya. Kenyataan bahwa bundanya membohonginya, kenyataan bahwa bundanya telah tiada dan kenyataan bahwa semua orang membohonginya. Utamanya saat ini, kenyataan bahwa ayahnya terkapar tak berdaya dan Nessa hanya selalu berani menjenguk ayahnya di balik jendela. Ia terlalu takut untuk berada di samping ayahnya. Ia takut melihat keadaan sang ayah yang dipenuhi berbagai selang yang sangat menyakitinya. Ia terlalu takut untuk mendekat dan merasa semakin hancur.

Sekarang, surat ini menambah kenyataan bahwa ayahnya sedang menunggu hadirnya. Mungkinkah artinya ayah sudah siuman? Atau keadaannya semakin parah? Tapi kalaupun ayah sudah sadar, pihak rumah sakit akan menelpon dan bibi akan memberitahu Nessa.

Tok.. tok.. Bibi Inah mengetuk pintu kamar Nessa dengan hati-hati. Setelahnya ia masuk dengan wajah muram. “Neng, Tuan Neng..” Nessa tidak menggubris apa yang Bibi Inah katakan, tepatnya Nessa menunggu Bibi Inah menyelesaikan kalimatnya.

“Tuan besok akan di operasi Neng, tadi pihak rumah sakit menelpon.” Ucap bibi Inah dengan hati-hati.

Deg!inikah maksud dari surat ini? Ayah akan dioperasi dan Beliau membutuhkan Nessa. Tapi siapa gerangan orang ini? Nessa tetap diam. Ia sibuk berdialog dengan hatinya sendiri. Bibi Inah pun merasa cukup menginfokan hal ini dan langsung kembali ke dapur.

Ayah? Kesepiankah kamu selama ini? Apa aku terlalu jahat dan egois? Aku hanya takut ayah! Nessa hanya kembali berbicara dalam hatinya. Ia kebingungan, ia terlanjur tidak percaya dan takut merasa kehilangan sama seperti saat ia tahu bundanya pergi meninggalkannya. Nessa kembali membatin, Ayah.. Aku takut..

Malam itu, Nessa kembali mendapati pesan di ponselnya dari nomor yang tak ia kenal.

Jangan takut. Tersenyumlah dan hadapi kenyataan, aku percaya kalau kamu itu cukup kuat!

Nessa tahu, pengirim pesan ini adalah orang yang sama dengan pengirim surat dan kado tadi. Nessa langsung menghubungi nomor yang tertera tapi tiba-tiba nomor itu tidak aktif.

Nessa mengumpulkan keberaniannya malam ini, sibuk bertanya pada hati kecilnya. Hingga ia malam pun tak terasa semakin larut.

Senin, 11 September 2013

Di Rumah Sakit Permata Indah, kamar 301

Di sinilah Nessa sekarang, pukul 10 pagi di ruangan tempat ayahnya dirawat. Terlihat ayahnya begitu sepi, hanya ditemani oleh selang-selang yang membantu Beliau tetap bernafas. Ada jarum yang menusuk Nessa saat melangkahkan kaki ke ruangan ini. Biasanya ia hanya sebatas berdiri di jendela. “Ayah.. Nessa disini.” Nessa bergumam pelan lalu mendekat ke telinga ayahnya.

Nessa tak menyangka pipinya jadi hangat sebab air mata yang sedari tadi mengalir dengan lembut. “Ayah.. coba lihat, Nessa sekarang sudah besar. Nessa sudah SMA dan sebentar lagi akan kuliah. Nessa bukan anak kecil lagi yang akan merengek coklat. Tapi Nessa akan tetap merengek dan menangis supaya ayah cepat siuman. Nessa rindu ayah.. Nessa rindu bunda..” Nessa berusaha menyampaikan apa yang tersembunyi di hatinya selama ini walaupun bersenandung dengan isakan. Kerinduan yang amat besar terhadap ayah dan bundanya.

Tak jauh dari kamar 301, sosok pria jangkung berkulit putih bersih yang amat serasi dengan almamater putih yang ia kenakan. Jelas terlihat, ia adalah seorang dokter muda. Umurnya kisaran 25 tahun dan mungkin sedang praktik kerja di rumah sakit ini. Dia tidak sekedar lewat ataupun tak sengaja melihat adegan haru antara Nessa dan ayahnya . Dia memang sengaja memerhatikan mereka dengan seksama. Sengaja menunggu Nessa.

“Anda pasti putri tersayang Bapak ini. Anda yang bernama Nessa kan?” Dokter muda itu langsung menghampiri Nessa.

Nessa hanya mengangguk sambil berusaha mengelap air matanya. Ia tak ingin terlihat lemah dihadapan siapapun. Dokter muda itupun memperkenalkan dirinya, rupanya ia adalah asisten dokter yang setiap hari mengecek kondisi ayah Nessa.

“Bapak ini sering sekali mengigaukan nama Nessa dan akhirnya saya tahu, itu adalah nama putrinya yang sekarang berdiri di hadapan saya. Yang rupanya selalu saya lihat datang menjenguk hanya sebatas di jendela saja. Syukurlah, kamu tidak sembunyi lagi. Saya yakin Ayah Anda akan cepat sadar dari komanya jika putrinya selalu ada di sampingnya.” Jelas asisten dokter yang terlihat menawan ini kepada Nessa.

“Tunggu, jangan bilang kamu yang selama ini mengirimkanku surat-surat itu?” Nessa langsung menyimpulkan. Sang Asisten dokterpun yang ternyata akrab disapa Dharma tersenyum penuh makna. “Terima kasih” ucap Nessa pelan. Tadinya Dharma sudah menyiapkan diri kalau Nessa akan marah tapi sekarang ia kaget melihat respon gadis cantik itu.

“Terima kasih telah memerhatikan ayahku, terima kasih telah menamparku setiap hari dengan kalimat-kalimatmu. Terima kasih atas kado ulang tahun kemarin. Aku sadar, aku tetap mencintai mereka walau hatiku bernanah sekalipun. Walau kisah trauma itu tetap ada, aku hanya merasa hancur tanpa mereka”

“Berterima kasihlah pada sahabatmu juga, Nilam. Ia banyak membantuku, ia juga sering kesini menengok ayahmu. Bahkan, aku sempat salah sangka. Aku pikir Nilam adalah putri Bapak ini. Nilam banyak bercerita tentangmu, termasuk tentang bunga sakura yang kupilih sebagai motif setiap suratku.” Dharma menyebut nama Nilam. Nessa menjadi ingat dengan gadis periang itu. Sahabat yang selalu ada walau beberapa kalipun Nessa mengusir dan mengacuhkannya. Dimana dia sekarang? Dia juga sangat berjasa besar mengembalikan diri Nessa lagi.

Nessa tersenyum. Sangat manis, mungkin ini adalah senyum Nessa yang termanis selama 12 tahun terakhir. Sampai-sampai Dharma merasakan kinerja jantungnya sudah tidak beres melihat senyum gadis di depannya ini. “Temanilah Ayahmu, kamu masih beruntung memiliki dia walau masih dalam keadaan koma seperti ini. Yang kamu harus lakukan berdoalah untuk kesembuhannya dan tersenyumlah Nessa.” Dharma mengatakan semua itu dengan sangat lembut. Hati Nessa menjadi hangat dan rasanya seperti hidup kembali. Rasanya memiliki seseorang yang memahami mu dan kau tak perlu bersembunyi ataupun takut lagi. Untuk pertama kalinya semenjak 12 tahun terakhir, Nessa belajar untuk memercayai seseorang.

Nessa bergegas mencari handphonenya dan menekan beberapa digit nomor yang akan menghubungkannya dengan Nilam.

“Halo, Maaf dengan siapa?” Terdengar suara Nilam.

“Nilaaaaammm, ke rumah sakit tempat ayahku dirawat ya. Aku menunggumu, akan kuceritakan semuanya” Tiit.. tiit.. Nessa langsung memutuskan sambungan.

“Itu tadi Nessa ya? Aduh, ini mimpi?” Nilam kaget dan mencubit dirinya sendiri aww sakit. Yah, sebab ini bukan mimpi. Tadi Nessa menelponnya, mengajaknya bertemu di rumah sakit dan yang paling menyenangkan Nessa ingin bercerita. Ah, Ya Tuhan semoga kali ini Nessa benar-benar kembali.

Operasi Ayah Nessa berjalan lancar, meski Nessa sangat takut untuk mengalami kehilangan kembali tapi selama Ayahnya dioperasi ada Dharma dan Nilam yang menemani Nessa. Menggenggam jemarinya kuat, seakan mata mereka berkata Nessa, Kami disini dan kami ingin kamu selalu tersenyum.

Meski Ayah Nessa masih koma, tapi perkembangan kinerja otaknya sudah membaik. Nessa semakin kuat menjalani hari. Ada Dharma sebagai kekasihnya dan Nilam sebagai sahabat sekaligus saudaranya. Nessa juga tak lupa terhadap jasa Bibi Inah, Nessa tahu selama ini telah membuat Bibi Inah cemas karena sikap Nessa yang dingin.  Sepulang dari rumah sakit, Nessa memeluk Bibinya itu sembari mengucapkan maaf dan terima kasih.

Sejak saat itu, Nessa kembali membuka dirinya. Nessa belajar untuk menyapa cinta. Mencoba untuk tegar walau ia tahu, kapan saja ada pisau yang terselip di setiap kebahagiaan. Nessa semakin rajin menjenguk Ayahnya sedang Nilam selalu mendampingi Nessa. Ah, Nessa baru sadar betapa beruntungnya ia selama ini. Memiliki orang-orang yang begitu peduli terhadapnya. Serta, betapa bodohnya ia selama ini telah dibutakan oleh kehilangan dan trauma berkepanjangan. Kini, Nessa tahu satu hal. Sampai kapanpun ia tak akan bisa sendiri dan menjauhi cinta. Karena ia tak pernah sendiri dan cinta selalu ada di hidupnya. Malamnya, Nessa mengigau Bunda.. Nessa sayang Bunda!


Inspirasi cerita dari lagu To Nessa by Vierra.

sumber tulisan : akun pribadi kompasiana http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/10/16/cinta-nessa-601049.html
Sumber gambar : http://s-wido2.blogspot.com

3 komentar

ceritanya bagus... sudah dibukukan?

belum dibukukan kak :')

bisa minta disarankan klo ada cerita yang kayak gini lagi?
entah mengapa melankolis skalika gara2 coba2 nonton film sedih2 dulu waktu pas jaman2nya putih abu2.. hehe

Posting Komentar

Coretkanlah Opinimu :)

Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Dear Readers...

Tulisan itu memang terkadang membosankan.. namun bertahanlah sampai klimaks .. Temukan yang tak terduga ;) Jemari rapuh ini, hanya sebagai perantara bagi gadis yang tak bisa berhenti berkicau walau tak ada siapapun di sekitarnya..

Popular Posts

Twitter

Followers