Artikel "Siapkan Mental Kerja Sejak Muda, Itu Perlu!"
Siapkan Mental Kerja Sejak Muda, Itu Perlu!
oleh : Sitti Nadia Tri Septiani
Semua
orang pasti menginginkan pekerjaan yang terbaik bagi penghidupannya, minimal untuk jangka
waktu pendek. Setelah bertahan dan
memiliki pengalaman yang cukup maka ia berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih
baik lagi, ini adalah hal yang dapat diterima secara wajar karena kebutuhan seseorang seiring dengan bertambahnya
usia maka kemungkinan besar ia membutuhkan penghasilan yang memadai.
Pertanyaan
sederhana yang sering saya dengar, “kalau lulus sekolah kamu mau apa?”. Maklum
sebagai siswa
kelas 3, saya sudah harus menentukan pilihan saya. Jawabannya, tentu saja
melanjutkan kuliah, dan bila dimungkinkan dapat mendapatkan kerja selingan
untuk meringankan beban orang tua dalam membiayai pendidikan saya. Pemikiran ini sangat
idealis
bukan?
Wajar
saja bila di usia saya akan memikirkan hal-hal tersebut, tanpa memikirkan
kendala apa yang akan saya hadapi nantinya, Kuliah dan bekerja. Hmmm kata orang
tidak mudah, tapi mungkin saya akan mencobanya kelak, jika dapat berjalan baik
dan tidak saling mengganggu, sah-sah saja bila saya akan bertahan dengan pemikiran
“Kuliah sambil bekerja”.
Nah,
kalau kemudian saya ditanya lagi, setelah kuliah, apa mau melanjutkan kuliah
lagi ke jenjang lebih tinggi? Pikiran sederhananya, mau-mau saja, asal.. jangan
sampai membebani orang tua lagi. Maka dari itu, pemikiran “kuliah sambil kerja”
semoga saja penghasilannya dapat membantu saya untuk meneruskan kuliah ke
jenjang yang lebih tinggi.
“Apakah kamu yakin, harus kuliah terus, apa gak bosan
tuh?” Hmmm .. saat ini saya berpikir sederhana, kalau terjadi saya akan berusaha
mengatasi kebosanan tersebut. Tapi, ini
semua hanya keinginan, yang pada intinya saya memiliki prinsip untuk mengurangi
beban orang tua saya dalam membiayai pendidikan saya. Idealis lagi bukan? Tapi
wajar saja bukan?
Sampai
di sini, maka gambarannya sudah jelas, setelah tamat dan kemudian kuliah. Dan
jika pertanyaan ini berlanjut, pilihan kerja seperti apa yang nantinya saya
pilih? Wah... bagi saya yang penting sesuai dengan pendidikan dan kemampuan
saya pastinya. Semua orang pasti
memiliki pemikiran serupa bukan?
Beranjak
dari anggapan terakhir ini, maka untuk memperoleh suatu pekerjaan saya
terjemahkan harus sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman. Pendidikan pasti berhubungan dengan
nilai-nilai akademis, apakah dengan lulus cum laude seseorang yang baru lulus
harus langsung mendapat pekerjaan harusnya sangat layak seperti menduduki
jabatan puncak dalam perusahaan? Boleh-boleh saja kalau itu hal tersebut menjadi tolak ukurnya. Namun bagaimana dengan Cum Laude tapi “nol”
pengalaman, artinya sejak kecil waktunya selalu disisi dengan sekolah dan
sekolah terus, tentu perusahaan yang menerimanya akan berpikir lain. So..
kesimpulannya, pengalaman juga turut berperan walau secara akademis seseorang
dinilai super bukan?
Berarti
pada tahapan ini, bila kelak saya mengalaminya, saya akan berpikir benar bahwa
tidak salah dengan pemikiran saya di awal yaitu bekerja dan kuliah. Lagian
tujuan yang disebutkan sudah jelas, membantu orang tua. Walau mereka sendiri
tidak akan keberatan. Selain itu, tentunya dengan bekerjaa saat kuliah, saya dapat
mengumpulkan pengalaman saya bukan?
Kemudian
bila semua keinginan saya tersebut terpenuhi, maka ukuran selanjutnya seberapa
banyak uang yang dapat saya kumpulkan dan untuk apa? Saya pikir wajar kok,
kalau saya berangggapan bahwa saya ingin mengumpulkan banyak uang dari kerja
keringat saya yang halal. Kalau di tanya untuk apa, pasti untuk kebutuhan
standar pribadi saya dulu yang tidak berlebihan, baru lah kemudian menyisahkan
kelebihannya untuk keluarga atau orang-orang yang saya cinta serta tentunya
masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial.
Idealis
lagi bukan? Tapi wajar kan kalau saya
berpikir begitu? So doakan saya.
***
Sekarang
saya kembali ke pembahasan awal, mengenai bekerja di usia muda atau di saat
kita memang sedang mengikuti pendidikan yang diwajibkan dan untuk mengumpukan
berbagai pengalaman yang mungkin kita dapat dalam dunia pekerjaan atau kegiatan
lain di luar rutinitas sekolah.
Bekerja
mendapat upah itu wajar, Ujung-ujungnya cari duit untuk hidup dan sukses
tentunya. Yup, pada umumnya itulah jawaban yang akan terlontar jika ditanyai
tentang rencana masa depan, kalau bukan kuliah ya langsung kerja. Apalagi kalau
bukan untuk menjadi sukses? Semua orang tentu mendambakan yang namanya sukses
tak terkecuali saya pribadi maupun kamu!
Tapi,
apakah harus menunggu lulus sekolah atau kuliah, kita akan terjun secara
tiba-tiba ke dalam dunia kerja yang super ketat? Mungkin sebagian orang merasa
pelajaran di sekolah sudah cukup sebagai modal untuk sukses nantinya. Tapi,
pada kenyataannya berdasarkan catatan BPS (Badan Pusat Statistik) jumlah
pengangguran pada Februari 2013 mencapai 7,17 juta orang. Banyaknya pengangguran
menandakan persaingan untuk mencari kerja juga semakin meningkat.
Tak
jarang terlihat sebagian orang menghabiskan masa mudanya hanya untuk foya-foya.
Namun, dilain sisi tak sedikit juga yang memang sudah terlatih mempersiapkan
karir masa depannya secara perlahan. Mempersiapkan mental bekerja untuk meniti
karir di masa depan tidak mengharuskan anak muda sekarang untuk bekerja sambil
belajar, ini lebih kepada kemandirian anak tersebut dan bagaimana untuk
memantapkan diri agar tidak kaget menghadapi keras dan susahnya mencari kerja.
Karir
ini boleh dikatakan sebagai cita-cita sehingga dalam menggapai cita-cita
tersebut perlu dipersiapkan secara dini. Biasanya yang disoroti adalah prestasi
akademik, pada umumnya orang-orang beranggapan prestasi yang gemilang merupakan
awal dari kesuksesan sehingga karirnya juga akan cemerlang di masa depan.
Pada
dasarnya memang tidak salah, tetapi jenjang karir yang seperti terlihat saat
ini tidak ditentukan 100% karena prestasi akademis. Pengalaman dan jiwa
sosialisasi juga sangat menunjang dalam meniti karir.
Melatih
diri dengan turut aktif dalam pendidikan ekskul serta aktif berorganisasi di
sekolah juga sangat diperlukan guna mempersiapkan diri untuk terjun langsung di
dalam getirnya dunia yang sesungguhnya di tengah-tengah masyarakat nanti.
Namun, bagi sebagian pandangan orang tua bahkan umumnya, mereka memandang
ekskul dan hobi lainnya justru akan mengganggu prestasi sekolah anak mereka.
Pada
ke nyataanya tidak semua begitu. Ekskul di sekolah malah akan memberikan
pengalaman-pengalaman yang tidak akan didapatkan saat berada di dalam kelas.
Belajar berorganisasi secara tidak langsung telah mengajarkan pada kita
bagaimana berinteraksi dan bekerja sama dengan teman-teman kita yang memiliki
beraneka ragam karakter masing-masing. Pengalaman-pengalaman kerja sama seperti
itulah yang akan sangat berguna saat menjejaki dunia kerja nantinya. Sehingga,
nantinya kita tidak kaget dan kualahan lagi dalam artian kita sudah tahu
bagaimana harus bersikap berkat pengalaman dari berorganisasi tersebut.
Walau
jauh dari ekskul yang biasanya, beberapa "ekskul" spesial yang dapat
dipelajari dengan mudah dan diperoleh sehari2 dengan gratis adalah bagaimana
membantu dan memahami pekerjaan orang tua. Begitu halnya dengan organisasi ,
dengan begitu kita di latih untuk dapat bersosialisasi dengan orang lain, bukan
nantinya kerja one man show.
Pengalaman
yang didapat dari ekskul dan cara-cara berorganisasi yang benar ini bila
dikombinasikan dengan nilai prestasi akademis yang memadai akan sangat membantu
generasi muda saat ini untuk meniti karir mereka semakin cemerlang nantinya.
Dapat dikatakan standar dasar/modal yang paling memadai bagi seseorang untuk
berjuang meniti katirnya.
Namun,
persoalannya apa semua orang tua setuju membiarkan anaknya mengkombinasikan
belajar dan ikut ekskul serta belajar berorganisasi? Karena terlihat tidak
sedikit orang tua hanya menuntut sang anak untuk sekolah, les dan terpaku di
depan buku pelajaran.
Bahkan
ada anak yang sekolah dari pagi hingga pulang sore hari, hanya karena
disibukkan oleh kegiatan les dan belajar.Tapi, kembali lagi setiap orang tua
berhak atas pendidikan anak dan bebas menentukan bagaimana mendidik anak
mereka. Namun, alangkah baiknya anak juga di beri kesempatan mempelajari hal
lain yang tidak ia dapatkan dipelajaran di sekolah ataupun saat bertatap muka
dengan sang guru. Hal-hal berbau organisasi terkadang memang mengundang aura
negative dari para orang tua tetapi pada dasarnya memiliki manfaat yang luar
biasa.
Pertanyaan
lagi, apakah dengan ikut organisasi bahkan pendidikan kepribadian menyita waktu
belajar? Nah, inilah yang menjadi momok besar bagi para orang tua. Mereka
menganggap kegiatan-kegiatan organisasi akan menghambat sang anak untuk aktif
dan belajar bahkan sebagian besar takut anaknya akan sibuk dan lupa dengan
tugas utamanya yaitu belajar.
Tapi,
kembali lagi pada sang anak. Di era speerti ini, ketika persaingan di dunia
kerja semakin ketat mereka juga harus di bekali bagaimana mengatur waktu. Peran
orang tua pun sangat dibutuhkan disini. Dukungan serta tak bosan-bosannya
mengingatkan sang anak bukan malah mengurung mereka hanya bersama buku
pelajaran semata.
Dengan
adanya dukungan serta kepercayaan yang diberikan, sang anak juga akan belajar
untuk tidak mengecawakan dan berusaha sebaik mungkin. Tapi, tetap harus selalu
terkontrol oleh orang tua.
Kebetulan,
saya juga aktif dalam beberapa ekskul di sekolah. Saya teringat dengan nasehat
Pembina saya, Beliau bilang “Percuma pintar tapi tidak tahu berorganisasi dan
bersosialisasi. Tapi, percuma juga aktif dalam organisasi tapi otaknya tak
pernah diasah” Nah, saya sangat setuju dengan nasehat Pembina saya itu. Beliau
sempat menambahkan pula, kepintaran/ ilmu itu harus dibagi, salah satu cara
membaginya dengan beroganisasi, bersosialisasi dan saling bekerja sama. Karena
kembali lagi pada hakekat seorang manusia sebagai makhluk sosial. Dalam dunia
kerjapun juga begitu nantinya, kita tidak bisa bekerja sendiri-sendiri.
Percaya
atau tidak, keberhasilan juga tidak hanya berasal dari nilai akademis apalagi
dilakukan dengan paksaan karena tekanan orang tua untuk belajar, belajar,
belajar. Mereka yang berhasil "walau tidak bodoh amat" mampu survive
menjalani kehidupan, mencapai karir yang tinggi. Kita tidak lupa bukan, para tokoh dunia, seperti Bill Gates sang
pembuat Facebook, sempat gagal dalam sekolah karena ingin mengejar bisnis.
Tapi
apakah ini dapat dijadikan contoh? Tentetu saja tidak dapat di jadikan patokan,
tidak semua orang dapat mengukur kemampuannya sendiri. Ini hanya sekedar bukti
bahwa nilai akademis tidak dapat menjamin 100% kesuksesan seseorang. Tapi,
mengabaikan hal-hal berbau akademis juga bisa jadi akan berakibat fatal
nantinya. Oleh karena itu, pengalaman serta nilai akademis yang menunjang saat
dibutuhkan di zaman sekarang ini.
Seseorang
yang pintar sebagaimanapun jika tidak didukung dengan mental baja, akan
kesulitan ketika terjun dalam dunia kerja yang sesungguhnya.Yang perlu diingat
untuk menghadapi masa depan adalah ditentukan oleh diri kita sendiri, walaupun
ada campur tangan orang lain, tidak akan menjamin hal itu.
So… Mari pupuk semangat berkarir
untuk masa depan Anda!
sumber tulisan :
Posting Komentar
Coretkanlah Opinimu :)