Artikel Cita-citaku atau Ambisi Orang Tuaku?
Cita-Citaku atau Ambisi Orang Tuaku?
oleh Sitti Nadia Tri Septiani
Pernah tidak berada dalam situasi ketika
pilihan kalian tak sejalan dengan kemauan orang tua? Lalu, apa yang
kalian rasakan? Sebagian besar dari kalian pasti mengerti bagaimana
bimbangnya saat itu. Bahkan, telah biasa menghadapi kondisi tersebut.
Orang tua memang punya andil besar dalam
hidup kita. Sebab, setiap orang tua tentu menginginkan hal yang terbaik
buat anaknya. Mereka kebanyakan beranggapan bahwa kita tidak cukup
pandai memilih yang mana yang terbaik. Sehingga, mereka perlu turun
tangan dalam memilih hal-hal yang terkadang tak sesuai dengan hobi
bahkan kegemaran kita sebagai remaja.
Apalagi ketika berbicara perbedaan zaman
dan trend antara orang tua dan anak. Kebanyakan orang tua menganggap
saat mereka masih muda sama kondisinya saat anak-anak mereka beranjak
remaja. Padahal, bisa saja sangat berbanding 180 derajat.Maka tidak
heran kalau terkadang para anak mengoceh dalam hati “Lain dulu, lain
sekarang”.
Memang kodrat orang tua ya seperti itu,
ingin yang terbaik untuk anaknya. Karena memang orang tualah yang
memiliki jasa paling besar buat kita, dari kecil merekalah yang memandu
kita. Merangkak, lalu cara berjalan, bicara bahkan mendapatkan rasa
kenyamanan karena setiap saat diberi kasih sayang. Akan tetapi, dalam
kasus tertentu yang orang tua anggap “terbaik” terkadang bukanlah yang
“terbaik” menurut sang anak.
Tak sedikit pula, akhirnya orang tua
memaksakan kehendaknya kepada sang anak. Suka ataupun tidak, sang anak
harus mengikuti kata orang tua. Seakan-akan menjadikan ambisi masa
mudanya yang dulu tak kesampean sebagai hal yang harus anaknya capai.
“Kamu tidak boleh ngebantah! Harus nurut apa kata orang tua” Nah, kalau
sudah seperti itu? Kita sebagai anak yang patuh hanya bisa diam dan
melakukan keinginan Beliau. Bukan dengan senang hati lagi, tapi sudah di
balut rasa terpaksa hingga menjadi beban.
Wajar tidak, jika ada dari teman saya
berpendapat saat orang tuanya mulai sibuk memilihkan ini dan itu, “Emang
bapak/mama yang ngejalaninnya? saya yang tau kemampuan saya!”. Walau
demikian, itu hanya bisa di pendam, untuk batas-batas kesopanan orang
timur pada umumnya.
Lain lagi, ketika teman saya dari kota
besar berpendapat, “lawan dong bapak/ibu kamu dengan berargumentasi.
Kasih alasan yang masuk akal. terlebih dengan kemampuan kamu sendiri”.
Katanya
“eh boro-bro mau jelasin, bicara
beberapa patah kata saja, dianggap ngelawan. Ya terpaksa diam, dan
kemudian nurut saja kemauan orang tua?”
Harusnya, para orang tua mengerti posisi
anaknya. Mereka bukanlah secara menyeluruh fotocopy-an dari orang tua
mereka sendiri. Para anak juga memiliki hobi, keinginan, cita-cita yang
lain yang pada umumnya bisa berbanding terbalik dengan hobi orang tua
itu sendiri. contohnya saja, saya memiliki teman yang orang tuanya
merupakan guru mata pelajaran hitung-hitungan. Tapi, sang anak lebih
menyukai sastra dan kurang bisa mengikuti pelajaran yang berbau
hitungan. Nah? Sangat jelas perbedaannya bukan?
Dalam hal apa saja orang tua terkadang
bersikeras seperti itu? Silahkan dilihat di lingkungan sekitar kehidupan
sehari-hari atau dari berbagai berita dari media. Diantaranya, tentang
pilihan “sekolah” atau “jurusan” bahkan ada yang sampai dengan level
“memilihkan jodoh”. Wah bisa repotkan jika pilihan orang tua sama
sekali bukanlah idaman kita?
Untungnya, saya memiliki orang tua yang
mendukung pilihan saya mengenai jurusan kuliah nantinya. Maklum, saya
sudah duduk di bangku kelas 3 SMA dan sebentar lagi akan disibukkan
dengan persiapan menuju masa depan yang sesungguhnya. Pemilihan jurusan
atau kerja nanti adalah hal penting dan tidak boleh asal pilih dan
bersyukurlah saya, orang tua mendukung pilihan saya.
Tapi, mirisnya beberapa teman saya malah
ada yang dipaksa untuk masuk ke jurusan ini dan itu yang mereka akui,
bahwa sama sekali tidak menyukai bahkan tidak minat dengan jurusan
pilihan orang tuanya. Wajar, karena sebagian besar orang tua menganggap
jurusan seperti kedokteran adalah jurusan terbaik dan menjanjikan.
Padahal, menurut saya pribadi, semua jurusan memiliki potensi yang sama
tergantung pada individu yang menjalankannya, apakah ia senang
menjalaninya dan akhirnya mendapat hasil yang memuaskan atau sebaliknya?
Nah, kalau sang anak minatnya sama hal-hal yang berbau sastra terus di
paksa ke kedokteran? Bisa dibayangkan bagaimana beban yang dipikul sang
anak tersebut.
Seperti yang dilansir dalam www.republika.co.id
pada tanggal 28 Agustus 2013, yang memuat hasil wawancara dari seorang
psikolog anak bernama Anita Chandra Mpsi, beliau mengatakan bahwa jika
orang tua melarang cita-cita anak dan memaksakan kehendaknya, dampaknya
tidak akan baik ke anak. Anak akan kehilangan motivasinya. Keterbukaan
anak dan orang tua juga mungkin menjadi menipis.
Sayapun setuju dengan hal itu, karena
segala keinginan kita tidak tersampaikan alias terdahului dengan
diktator orang tua. Lalu, untuk dampak kedepannya kita pun akan sungkan
bahkan takut untuk mengemukakan keinginan kita karena nanti dilarang
ataupun tak disetujui. Tertutuplah kita dan jarang ingin berkomunikasi
dengan orang tua.
Jadi sampai sini, harus bersikap seperti
apa? Sebelum Anda menjawab, saya akan memilih mencari waktu yang tepat
dan suasana yang tepat untuk berbicara dengan orang tua saya tentang
pilihan masa depan saya. Biar perlu, sebagai intro, bisa saja saya
manfaatkan kakak atau anggota keluarga lain untuk memancing
pembicaraan.Nah ini hanya cara pendekatan, tapi apakah ada jaminan orang
tuanya akhirnya mengalah terhadap argumentasi anak? Belum tentu juga,
karena orang tua akan mengambil sikap, dialah penentu masa depan anak!
Bak raja di tahta, semua harus tunduk pada perintah kalau kemudian hal
ini pertentangkan sehingga harus diam-diaman, marah-marahan sampai kabur
segala. Yang rugi siapa? Tentu si anak juga orang tuanya. Sehingga
kalau berbicara pilihan anak untuk masa depan, termasuk mungkin juga
jodoh. Sebaiknya orang tua melihatnya secara objektif, bahwa anak
memiliki hak yang dijamin oleh Undang-Undang di republik ini.
Intinya, komunikasi dan saling
pengertian antara anak dan orang tua sangat dibutuhkan dalam kasus
perbedaan pendapat seperti ini. Orang tua bukannya dilarang untuk ikut
andil dalam menentukan pilihan hidup sang anak. Tapi, dalam batas-batas
tertentu yakni hanya sebagai saran untuk pertimbangan. Sehingga, sang
anak bisa memutuskan pilihannya sendiri. Kan nantinya yang menjalankan
juga anak tersebut, dan seperti yang kita ketahui sebagian besar
keberhasilan dicapai karena anak enjoy dalam proses tersebut.
Sudah selesai sampai di situ? Belum
juga, karena berapa persen orang tua yang mau mendengar dan mengikuti
pendapat anak sesuai dengan kemampuan ia memilih masa depannya, dan
berapa orang tua yang masih diktator?
Saya masih percaya, lebih dari 50% orang
tua, masih menggunakan hak-hak “ditaktor” nya untuk mengatur masa depan
anak. Kalau salah, mohon maaf, karena yang saya lihat hampir rata-rata
begitu. Apalagi, melihat keadaan teman-teman sekitar saya yang pusing
mencocokkan jurusan yang mereka inginkan dengan jurusan yang orang tua
mereka pilihkan.
Pada akhirnya, mari kita melihat secara
jernih peran anak dan orang tua di jaman yang katanya “lain dulu lain
sekarang” itu! Boleh beda pandangan tetapi saling memahami untuk
keberhasilan masa depan anak perlu menjadi prioritas. Tetapi, tetap saja
sebagai yang muda, harus dapat menjaga batas-batas kewajaran pada saat
berbicara atau berdiskusi dengan orang tua. Kita harus tetap menjunjung
tinggi etika, biar bagaimanapun kan orang tua adalah orang yang paling
berjasa di hidup kita. Komunikasi yang aktif itu penting untuk mendapat
jalan keluar yang terbaik.
Selamat saling memahami satu sama lain. Buat orang tua kita mengerti dan jangan lupa tetap junjung kesopanan.
Salam..
sumber gambar : http://template-copas.blogspot.com
1 komentar
luar biasa
Posting Komentar
Coretkanlah Opinimu :)